Kuala Sedili (sajak Usman Awang)
Sepinya tanah kelahiran untukku dari kota
dalam serba gelisah berpura sesuai merasa
di sinilah, O Kuala Sedili, tangisku pertama bergema
Pada rumput menghijau seperti kesuburan kasih ibudalam serba gelisah berpura sesuai merasa
di sinilah, O Kuala Sedili, tangisku pertama bergema
ah, kenangan ketika kecil di bumi Tanjung Lembu
sampai kini Sungai Sedili terbentang seperti dulu
Dari sini kulihat payang dengan layar putih
di dalamnya ikan-ikan segar bukan milik mereka lagi
ayahku di tiang layar, bersama paman jurumudi
Siapa bisa mengerti bahawa hidup demikian membara
dalam kepahitan menyesak masih jua terdengar tertawa;
itulah kebanggaan mereka menyarai usus-usus keluarga.
Tapi derita bagi mereka apakah erti
bila mereka di dalamnya, tak merasa lagi
sebab tak dilihat mata, menjadi pusaka untuk kami
Dari pemergian subuh-subuh sampai pulang
tanpa keluhan pada matahari dan laut menggeram
selain wajah-wajah menggelepar dari kepahitan mendalam
Apakah yang mendorong ketabahan seperti batu karang
kalau hati yang pengasih itu sentiasa menyatakan
segempal nasi bagi kami anak-anak penyambung kemiskinan?
Tidak ada kesedihan, barangkali hanya kematian,
sebab dalam kesakitan mereka bisa mengemudi payang;
semua telah berpadu seperti air dan garam di lautan
Hanya wajah-wajah tua ketika musim tengkujuh
serupa daun-daun berguguran seluruh jadi rapuh
pintu maut sedang terbuka dari perut laut gemuruh
O tanah kelahiran, betapa kau mimpikan elektrik
sinar menyinar gemilang yang menghidupkan pekat malam
sebab kau bumi nelayan yang berhak menerima kesuraman
Mana rumah sakit dan ubat manis untuk kita
anak-anak nelayan tidak biasa mengenalnya, ah, bukan kota:
segala jadi biasa dan pendusta berulang bicara.
Alangkah megahnya pemimpin dari kota berkata-kata
yang sekali datang ketika masa empat tahun berulang
ah, Kuala Sedili, gadis desa mentah-mentah diperkosa!
Usman Awang
No comments:
Post a Comment