Monday, 5 December 2011

Kuala Sedili (sajak Usman Awang)

Sepinya tanah kelahiran untukku dari kota
dalam serba gelisah berpura sesuai merasa
di sinilah, O Kuala Sedili, tangisku pertama bergema
Pada rumput menghijau seperti kesuburan kasih ibu
ah, kenangan ketika kecil di bumi Tanjung Lembu
sampai kini Sungai Sedili terbentang seperti dulu
Dari sini kulihat payang dengan layar putih
di dalamnya ikan-ikan segar bukan milik mereka lagi
ayahku di tiang layar, bersama paman jurumudi
Siapa bisa mengerti bahawa hidup demikian membara
dalam kepahitan menyesak masih jua terdengar tertawa;
itulah kebanggaan mereka menyarai usus-usus keluarga.
Tapi derita bagi mereka apakah erti
bila mereka di dalamnya, tak merasa lagi
sebab tak dilihat mata, menjadi pusaka untuk kami
Dari pemergian subuh-subuh sampai pulang
tanpa keluhan pada matahari dan laut menggeram
selain wajah-wajah menggelepar dari kepahitan mendalam
Apakah yang mendorong ketabahan seperti batu karang
kalau hati yang pengasih itu sentiasa menyatakan
segempal nasi bagi kami anak-anak penyambung kemiskinan?
Tidak ada kesedihan, barangkali hanya kematian,
sebab dalam kesakitan mereka bisa mengemudi payang;
semua telah berpadu seperti air dan garam di lautan
Hanya wajah-wajah tua ketika musim tengkujuh
serupa daun-daun berguguran seluruh jadi rapuh
pintu maut sedang terbuka dari perut laut gemuruh
O tanah kelahiran, betapa kau mimpikan elektrik
sinar menyinar gemilang yang menghidupkan pekat malam
sebab kau bumi nelayan yang berhak menerima kesuraman
Mana rumah sakit dan ubat manis untuk kita
anak-anak nelayan tidak biasa mengenalnya, ah, bukan kota:
segala jadi biasa dan pendusta berulang bicara.
Alangkah megahnya pemimpin dari kota berkata-kata
yang sekali datang ketika masa empat tahun berulang
ah, Kuala Sedili, gadis desa mentah-mentah diperkosa!
Usman Awang

No comments:

Post a Comment